Arah Hara: Senja di Batanghari

Sore itu tak seperti biasa. Uni yang sering menikmati senja di tepi Sungai Batanghari menerima telepon dari kampungnya, Brastagi. Gemuruh Sinabung yang tak juga reda buatnya risau. Gadis minang ini ingin sekali beranjak pulang dari tanah rantaunya. Ingin ia percepat waktu dan berhenti dari pekerjaannya. Hingga suara dari kejauhan itu berkata;

"sabar ya nak, pulanglah ketika libur semester tiba. Lebih baik kamu disini. Usiamu juga telah cukup untuk menikah. Sudah ingin ibu menimang cucu. Ibu harap kamu juga begitu. Cukuplah yang merantau itu ya..."
"Iya bu..." Jawab Uni pelan.

Kerinduannya untuk pulang semakin besar. Hujan pun mulai jatuh di membercak air Sungai Batanghari. Brastagi - Jambi serasa begitu jauh dan pasif. Tubuhnya kaku. Hanya bisa menunggu waktu untuk pulang.

Malam dingin di desa pengabdian semakin sepi oleh kerinduan. Jemari Uni mengetik beberapa kata kepada Hara. Seseorang yg tengah dekat dengannya.

"Har, aku rindu rumah. Ingin pulang. Ibuku bercerita tentang Sinabung yg tak jua mereda. Kamu gimana disana?"

Lama ia menanti balasan chat itu...
Sampai Hara membalas...

"Sabar ni, sebentar lagi libur semester bukan? Dan pengabdianmu akan selesai. Bertahanlah! Disini baik-baik saja. Kecuali aku, yang juga merindukanmu. Sinabung masih terkendali kok. Inshaa allah semua akan baik-baik saja"

Dan malam itu, Uni melepas sepinya bersama canda tawa Hara. Damai sekilas hingga kantuk memisahkan mereka...
-------------------------------------------------------------
Libur semester tiba. Uni bergegas. Tiket pesawat telah jauh hari dipesannya. Perjalanan panjangnya dimulai dari Jambi - Padang - Medan. Pesawat yang ditumpangi Uni pun berhasil mendarat di Kualanamu. Uni kembali, setelah 3 tahun merantau di pedalaman batanghari, mengabdi untuk Negeri.

Brastagi adalah tanah ia dilahirkan. Tempat ia belajar dan tumbuh besar sebagai seorang manusia. Saat ia tiba, pesta buah sedang berlangsung. Sebuah kemeriahan yang sudah lama tidak ia temukan.

Rindunya terobati. Lepas sudah resah yang membelenggunya. Pelukan orangtua dan adiknya jadi obat terbaik, dari semua lelah yang ia dapatkan selama masa perantauan.

Uni mengambil handphonenya, diketiknya sebuah pesan kepada Hara...
"Har, aku telah sampai. Pulang kembali kerumah. Kapan kamu datang?"

Rupanya, itu adalah pesan terakhir yang tak pernah lagi dibalas oleh Hara. Lelaki yang diharapkannya hadir itu hilang. Tanpa jejak dan kabar. Tanpa pamit. Air mata Uni jatuh seketika, kepulangannya tak utuh sempurna. Berbulan tanpa kabar, hingga tahun berganti.
Hara benar - benar telah pergi.
------------------------------------------------------------
Setahun telah berlalu sejak Uni kembali ke Brastagi. Hara masih jadi misteri, sebab pergi tanpa permisi. Malam itu, Ibunda Uni datang ke kamar. Seolah intim sekali...

"Nak... (Sahut Ibunda dengan lembut)"
"Iya bu? (Jawab uni berbalas pelukan Ibu)"
"Tadi siang Ibu Ayu dengan anaknya yang seorang TNI datang kesini, dan menanyakanmu. Apa Uni sudah siap?"

Pertanyaan Ibu membuat Uni terkejut. Secepat itukah waktu berubah? (Sahutnya dalam hati. Dilepasnya pelukan itu dan menatap dalam - dalam wajah Ibunya.

"Dia melamar Uni, bu? Dan Uni akan menjadi seorang istri tentara?"
(Ibunya tersenyum) "Ia nak... Gimana? kamu juga udah kenal sama anaknya kan?"

Lama Uni terdiam. Fikirannya terpecah antara menerima lamaran itu dan keberadaan Hara yang masih jadi misteri. Namun, hidup memang harus memilih.

"Iya bu, Uni siap"
(Sebuah jawaban singkat yang menyudahi semua harap)

Handphone Uni berdering. Sebuah pesan masengger masuk dengan nama yang tidak asing. Hara tiba - tiba muncul dengan sebuah pesan singkat "Selamat ya. Semoga samawa"

Uni bergegas membalas pesan tersebut... Dengan tetes haru melihat Hara kembali.
"Kamu kemana? Kenapa sekarang muncul lagi? Maaf, Har! Aku telah memilih"

"Jangan minta maaf, ni. Aku yang salah. Pergi tanpa permisi. Aku yang seharusnya minta maaf. Kemarin itu, Dia kembali. Dan kamu tahu aku tak akan bisa menolak. Kami jalani kembali hubungan itu, tapi sama saja. Arah kami memang berbeda. Sekarang, aku malah sendiri. Menutup hati untuk sesuatu yang belum aku mengerti. "Cinta".

Cinta yang terbangun untuk runtuh. Tergerak untuk berhenti. Hadir untuk hilang. Datang untuk pergi, tanpa pernah bersama sampai mati. Aku kalah berkali - kali oleh logisku sendiri.

Maaf untuk senja di batanghari nya. Harap seorang Hara yang tidak pernah nyata. Pilihanmu tepat, ni. Tak menungguku. Sekali lagi selamat ya. Biarlah yang pernah tertulis akan aku rangkai dalam segelas cokelatpanas yang kuseduh sendiri. Sebagai kenangan. Bahwa kita pernah berencana. Namun tak terlaksana."

"Kamu juga, Har. Semoga hatimu segera terbuka. Dan menemukan yang terbaik untukmu. Salam rindu dariku, selalu".
-------------------------------------------------------------
Senja semakin dingin di Brastagi. Senja yang berbeda dengan sebuah cerita di tepi Sungai Batanghari. Semilir angin jadi memori bahwa Uni pernah ada dalam siklus hidup Hara yang tanpa arah. Karena, seberapa lama cinta menunggu, Ia akan berlabuh kepada yang mengayuh untuk sampai di labuhan terlebih dulu.

Demikian pula Hara. Ia sekarang melangkah ke sebuah kota baru dengan hidup baru. Arah Hara membawa sebuah jejak langkah di langit yang biru. Langkah yang membawa nya untuk menulis lebih banyak cerita tentang segelas cokelatpanas favoritmu atau kopi hitam kesukaanku.

Cokelatpanas.est
17 07 19.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nilai Historis Tentang Peninggalan Sejarah Sebagai Cagar Budaya di Kota Binjai

Cerita Tentang Pinus.

Sebait Kisah Tentang Ayah(ku).