Yura Prameswari (4): Sebuah Narasi

Kata - kata dan bandara.
Melayang antara senja dan lentera.
Menelusur cerita untuk pulang atau hilang,
Di titik pertemuan.

Tak ada "Jika" hari ini,
Tak ada "andai" kemarin.
Jarak jadi serumpun cemburu,
Juga sedulur rindu.
Memisah malaka dalam ribuan tanya.

Juga waktu, yang berhenti di penantian.
Menulis kembali memori dan kerinduan.
Menapak langkah pada arah tujuan.
Disini, pada akhir menuju permulaan.
-----------------------------------------------------------------

Terompet tahun baru bersorak dimana - mana.  Menyuarakan waktu dan angka yang berganti pada masanya. Demikian juga kamu. Sebuah alur cerita yang ku susun pada satu perjalanan kalender dirumah.

Rubrik beku memintaku diam. Aku menolak! Aku tak sudi kalah dari kenyataan. Walau nyatanya aku kalah. Jadi kuterobos itu kenyamanan. Ku berlari... Mencari sesuatu baru yang aku sebut "Hobi yang dibayar".

Sebenarnya sempat aku berfikir untuk jadi pelacur saja. Namun tuhan menolak, sekalipun aku dikerdilkan karena seolah atheis. Tapi lihatlah... Tuhan itu baik kepada semua, bukan karena sebuah agama.

Aku minoritas di rumahku sendiri. Di caci maki karena hati dan kelamin yang tidak tahu diri. Aku dipecat dari kantor karena poligami. Aku di jauhi karena keabsahan LGBT buatku adalah toleransi. Rumahku adalah tempat aku dirajam oleh gaduh. Dengan mereka yang berebut harta warisan dari eyang sepuh.

Jadi aku berangkat, merantau lagi pada arah tujuan baru yang aku sendiri tidak tahu. Seorang baik hati memintaku belajar ilmu peduli, setia, dan berdedikasi. Setahun aku ditempat sebelum di titipkan pada pemilik warung kopi. Aku bekerja bersih - bersih sembari sesekali belajar jadi barista kelas teri.

Disini, aku menemukan sebuah nama yang jadi cerita imajinasi. Yura Prameswari, Sebuah analogi dari banyak cinta dan dilematika hidup yang kualami. Ditemani segelas cokelatpanas untuk mengabadikan seduhan rasa dalam sebait catatan hingga sebuah kesimpulan.
------------------------------------------------------------------

Beberapa bulan setelah pergantian tahun, aku jadi biasa sendiri. Tak ada yang setiap detik mengingatkan aku untuk pulang, mencerahami aku untuk makan, memberi nasihat terbaik saat nalar tak mampu menyikapi tabir.

"Hidupku sudah terlalu rumit, kuharap kamu jangan pamit, kata besari" nyatanya?
Aku tak menemukan Yura menemani malamku dengan seduhan cokelat favoritnya atau kopi kesukaanku. Aku tak mendapati ia berbaring disebelahku untuk menghitung banyaknya bintang dengan mata telanjang.

Aku jadi apatis, berulang tatap menyurutkan hasrat. Wajah - wajah ayu mendadak layu. Kebanyakan dari mereka kemudian bahagia dengan wajah baru yang tak didaftarkan sebagai tujuan. Bandara, dermaga, stasiun kereta atau lintas antar kota kini sama. Tak ada Yura Prameswari disana...

Jadi, kuterima saja dosa tertulis. Kubuka lebar-lebar rasa benci yang menggunung diatas nalar. Aku pantas mendapatkannya. Begitu pula rasa dari segelas cokelatpanas yang kuseduh sendiri.

Tak akan kulipat jarak untuk mendaratkan malaka. Kota dan citarasanya akan tetap hidup. Selebihnya adalah frasa tentang kita yang tertuang dalam cerita. Bukankah bahagia adalah milik kita?

Yura Prameswari, adalah masa depanku, kapanpun aku memiliki anak perempuan. Akan kuberi nama itu.
Harasian mulana, adalah namaku. Kapanpun aku memiliki cinta. Adalah hidup baru bagiku.

Cokelatpanas.est @2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nilai Historis Tentang Peninggalan Sejarah Sebagai Cagar Budaya di Kota Binjai

Cerita Tentang Pinus.

Sebait Kisah Tentang Ayah(ku).