Sekilas Tentang Gerakan “ Marsipature Hutana Be”


 
Sumatera utara adalah salah satu daerah dan provinsi yang dapat dikatakan berhasil menerapkan pembangunan lima tahun (PELITA). Perubahan besar di Suamtera Utara terjadi pada pelita V yang dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada periode tersebut di Sumatera Utara lahir sebuah slogan yang kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan yang bernama Marsipature Hutana Be.

Istilah marsipature hutana be dicanangkan oleh Mayjen TNI Raja Inal Siregar pada saat peluncuran buku Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola Mandailing pada tanggal 18 September 1987. MARTABE (marsipature hutana be) di ambil dari bahasa Angkola-Mandailing dan Batak Toba yang artinya adalah "Membangun atau membenahi kampung halaman sendiri".  Konsep ini ditujukan kepada orang-orang yang telah sukses di perantauan.

Marsipature Hutana Be merupakan pencitraan dari penerapan nilai-nilai sosial masyarakat yang ada pada diri masyarakat itu sendiri.  Unsur – unsur budaya yang melekat didalam kata Maripature Hutana Be menjadikan slogan ini juga memiliki nilai budaya yang tinggi, khususnya budaya batak. Kemudian dalam penerapannya, slogan Marsipature Hutana Be ini diibaratkan seperti konsep horja pada masyarakat batak. Konsep  inilah yang membuat Marsipature Hutana Be sangat kental dengan budaya batak, walaupun pada penerapannya pada masa pemerintahan Raja Inal Siregar banyak mengalami ketidaksesuaian di karenakan  heterogenitas masyarakat Sumatera Utara. Konsep pembangunan seperti Horja (adat) inilah yang membawa gerakan Marsipature Hutana Be sukses merubah pola fikir masyarakat dan mempecepat proses pembangunan di Sumatera Utara.

             Jika melihat sejarah dan peranannya dalam pembangunan nasional, rencana pembangunan lima tahun (REPELITA) yang nantinya melahirkan suatu system paembangunan yang bernama pembangunan lima tahun (PELITA) adalah faktor utama dari suksesnya pembangunan di Indonesia. Dalam proses pelaksanaannya, desa dan masyarakat yang berada di desa merupakan tumpuan dan sekaligus ujung tombak dalam rangka pelaksanaan pemerintah, pembangunan dan pembangunan masyarakat yang merupakan basis dan landasan pembangunan nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, sejak PELITA ke II pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan kebijaksanaan bahwa secara bertahap semua desa di Indonesia dibangun menjadi desa swasembada, yaitu desa maju dan berkembang, desa mandiri yang mampu menyeleggarakan rumah tangga sendiri. Sistem inilah yang di rencanakan serta di gerakkan pemerintah secara bertahap dari pelita I sampai pelita VI di berbagai daerah di Indonesia. 

                 Oleh karena itu, lebih lanjut Raja inal Siregar menginginkan jika orang perantauan dapat menjadi tokoh utama dalam gerakan ini. Caranya adalah mendorong masyarakat untuk berlomba-lomba membangun kampung masing-masing. Persaingan sehat itulah yang perlu disosialisasikan kepada orang-orang di desa-desa dan di tanah perantauan. karena mereka memiliki hampir segala keunggulan dibandingkan dengan kaum kerabatnya yang bermukim di kampungnya. Relatif mereka lebih berpendidikan, lebih kaya, lebih ulet, lebih banyak pengalaman, lebih cerdas dan pintar. Sehingga potensi perantau yang besar itu harus mereka sumbangkan kepada orang tuanya, kaum kerabatnya dan para penduduk kampungnya tanpa kecuali.  Makna kampung halaman dari gerakan Marsipature Hutana Be ini bukan hanya tempat kelahirandan daerah leluhur. Bisa juga kampung mertua, tempat kita berdomisili dan bisa pula sebagai tempat mata pencahrian. Pokoknya, subtansinya mau membangun 

                  Program gerakan Marsipature Hutana Be (MARTABE) merupakan gerakan struktural sebagai sebuah icon pemerintahan Gubernur Raja Inal Siregar pada masa pemerintahannya. Oleh sebab itu, semua sektor pemerintahan baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan. Hal tersebut turut menunjang keefektifan gerakan marsipature hutana be tersebut. Selain itu, peranan pemerintah pada masa pemerintahan orde baru sangat kuat dalam merefleksi setiap aturan dan sistem yang ada. Khususnya yang menyangkut pembangunan nasional baik di pusat maupun daerah.
 
Untuk melaksanakan dan  mensukseskan program gerakan Marsipature Hutana Be tersebut,  ada beberapa pokok pikiran yang terkandung di dalam marsipature Hutana Be, yaitu dapat dijelaskan sebagai berikut;

1.      Marsipature Hutana Be berarti membangun desa motivasi yang digali dari rasa kemanusiaan dimana setiap orang pada hakekatnya mencintai kampung halamannyadan setiap orang akan terasa tergugah dan terpanggil hatinya bila diajak membangun negerinya.
2.  Bertitik awal rasa cinta kampung halaman, sebagai motivasi membangun desa akan melahirkan pola fikir bahwa dengan membangun desa otomatis akan terbangun kecamatan, akan terbangun kabupaten, adan akan terbangun provinsi dan akan terbangun negeri tercintai Indonesia.
3.    Marsipature Hutana Be berarti memotivir dan menggerakkan partisipasi masyarakat yang lebih luas, yaitu bukan saja masyarakat yang bermukim di pedesaan akan tetapi juga masyarakat yang bermukim di perantauan yang jumlahnya cukup banyak dan potensial. Upaya inipun sesuai dengan ketetapan Garis-garis Besar Haluan Negara  dimana pembangunan nasional harus mampu menggerakkan partisipasi masyarakat yang banyak.
4.  Masyarakat perantauan hendaknya diartikan lebih luas, yaitu orang-orang yang tidak bermukim di desa tetapi mencintai desa, orang-orang yang bermukim di Kota dan Ibukota Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi atau diluar Provinsi Sumatera Utara yang akan tetap merindukan kampung/desanya dan tergugah serta simpati terhadap desa/kampung yang memiliki perantuannya. Perantau tidak terbatas pada pemuka-pemuka ternama, berpangkat, tetapi juga anggota masyarakat lainnya tanpa memandang status kependudukannya serta besar kecilnya kemampuan yang dimiliki tetapi pada niat dan keikhlasan serta nilai partisipasi yang disumbangkan untuk pembangunan desa/kampung halamannya.
5.      Menggerakkan semaksimal mungkin potensi yang di miliki desa, baik potensi alam maupun potensi sumber daya manusia. Menggali mendinamisir institusi lembaga-lembaga adat kebiasaan dan budaya leluhur yang pernah hidup atau berkembang di masyarakat.

Oleh sebab itu, pola fikir yang selama ini yang selama ini mencari cara-cara dan pola membangun Sumatera Utara, di robah menjadi pola fikir “membangun desa otomatis membangun Indonesia “. Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan. Oleh karena itu pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) untuk menunjang perkembangan Desa agar bisa menjadi Desa mandiri dan memiliki kualitas sama dengan Kota perlu untuk di tingkatkan. Salah satunya melalui program Gerakan Marsipature Hutana Be.

Latar belakang, letak, kondisi ekonomi, dan lingkungan sosial sangat berpengaruh terjadinya pola hubungan sosial. Sedangkan, Desa atau pedesaan merupakan suatu wilayah yang memiliki berbagai bentuk Kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh masyarakat yang berdomisili Desa tersebut. Masyarakat desa tersebut memiliki intensitas sosial yang cukup tinggi, baik dari faktor ekonomi, politik, maupun budaya. Hal inilah yang membuat dinamika sosial sebenarnya berasal dari daerah pedesaan. 

Gerakan Marsipature Hutana Be menjadi sebuah perintah dari pusat (top down) yang diturunkan kepada pemerintahan di daerah. Makna gerakan ini sangat dalam jika dapat dikaji dan diterapkan dengan baik oleh seluruh elemen masyarakat Sumatera Utara. Gerakan ini merupakan bentuk nyata tentang bagaimana peran sebuah desa dalam membangun Indonesia. Para generasi penerus negeri ini tentu harus tahu dari mana mereka berasal dan tumbuh. Maka dari itu desa dapat pula dikatakan sebagai sebuah identitas pemersatu. Saya mengajak para pembaca untuk kembali kedesa, membangunnya dan menjadikannya sebagai tempat membangun Indonesia.

Sutan Imam Uluan, 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nilai Historis Tentang Peninggalan Sejarah Sebagai Cagar Budaya di Kota Binjai

Cerita Tentang Pinus.

Sebait Kisah Tentang Ayah(ku).