Konsep Pemanfaatan Bangunan Bersejarah Di Kota – Kota Tua Sumatera Utara
Oleh : Sutan Imam
Uluan
Banyak kota di
Indonesia dipandang memiliki bangunan peninggalan sejarah dan budaya yang utuh
dan kaya dengan khasanah budaya yang menarik dan memungkinkan untuk dijadikan
daya tarik kegiatan wisata budaya yang bervariasi. Sebagai peninggalan sejarah,
bangunan bersejarah tersebut sarat dengan nilai-nilai tradisi, historis dan
perjuangan bangsa adalah aset yang dapat dan sangat memungkinkan untuk
dikembangkan menjadi obyek dan daya tarik wisata budaya.
Di
Sumatera Utara sendiri terdapat 5 kota bersejarah yang didirikan oleh
pemerintah kolonialisme Belanda. Kota-kota tersebut dinamakan Kotapraja
(Gemeente) yaitu; Kota Medan (1 april 1909), Kota Binjai (1 Juni 1917), Kota
Tanjung Balai (27 Juni 1917), Kota Tebing Tinggi (1 Juli 1917), dan Pematang
Siantar (1 Juli 1917). Keberadaan kota-kota kolonial tersebut tentunya menjadi
identitas dan pedoman bagi perkembangan kota-kota di Sumatera Utara hingga saat
ini. Kemudian, masing-masing Kota tersebut mempunyai identitas yang menandai
kota tersebut hingga sekarang. Sebut saja Binjai yang dikenal sebagai Kota
rambutan. Belum lagi peninggalan –peninggalan sejarah yang masih berdiri tegak
hingga sekarang. Tentulah, pelestaran dan pemanfaatan yang baik bagi
peninggalan sejarah tersebut harus terus dilakukan, agar tidak hilang ataupun
dhancurkan.
Dalam
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, terdapat pasal
yang membahas mengenai upaya-upaya untuk memanfaatkan dan pengaturan keberadaan
bangunan bersejarah. Undang-Undang Benda Cagar Budaya ini dibuat sebagai
penganti Monumenten Ordonantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun
1931 Nomor 238), dan Monumenten Ordonantie Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsblad
Tahun 1934 Nomor 1934) yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman.
Pengertian mengenai benda cagar budaya tercantum di dalam Bab I, ayat I, yaitu:
“ Benda
buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya
50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya khas dan mewakili masa gaya
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai bagi
sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan ”.
Istilah
pemanfaatan bangunan bersejarah erat kaitannya dengan konservasi atau
pelestarian bangunan bersejarah. Dasar dari keterkaitan tersebut adalah bahwa
memanfaatkan bangunan bersejarah, terlebih dahulu harus melakukan pelestarian
bangunan tersebut, dan upaya pelestarian bangunan bersejarah tersebut dalam
kaitan dengan upaya pemanfaatannya harus dilakukan secara berkelanjutan agar
dapat diwariskan dan dipelajari oleh generasi berikutnya.
Dalam
pemanfaatan bangunan bersejarah, dapat memanfaatkan elemen dari bangunan
bersejarah tersebut, diantaranya adalah menceritakan kesejarahan, kebudayaan
dan eksistensi kebudayaan dari suatu proses perjalanan sejarah dari daerah yang
bersangkutan, walupun tidak tertutup kemungkinan bangunan bersejarah dan
lingkungan sekitarnya, telah mengalami banyak perubahan baik fisik bangunan
(tata guna hak kepemilikan dan pengelolaan, ornamen bangunan) maupun non fisik
(adat istiadat, kehidupan tradisi, upacara ritual dan seni budaya yang melekat
serta bersinergi dengan bangunan).
Dari segi
kesejarahan bangunan bersejarah tersebut telah banyak mengalami perubahan,
seperti status pemerintahan (dari pemerintahan yang berdiri sendiri menjadi
bagian dari wilayah Negara Indonesia), luas kawasan yang semakin menyempit,
serta kepemilikan lahan telah banyak dimanfaatkan baik untuk kepentingan
Pemerintah Kotamadya dan Kabupaten setempat. Banyak kasus
terjadi, dimana bangunan peninggalan bersejarah terjadi pengrusakan,
penghancuran dan penghilangan dengan atas nama tidak sesuai dengan perkembangan
jaman, lebih mengandung nilai ekonomi tinggi seandainya dijadikan bangunan
komersial.
Namun perlu
diingat, bahwa bangunan peninggalan bersejarah, ternyata banyak yang mempunyai
benang merah yang menghubungkan masa kini dengan masa lalu yang membentuk
identitas, karakter dan daya tarik tersendiri bagi kehidupan masyarakat
disekitar bangunan dan daerah setempat. Meskipun pada
awalnya bangunan peninggalan bersejarah tersebut tidak dikaitkan langsung
dengan aspek pariwisata, tetapi sesuai dengan perkembangan jaman dan pemikiran
baru di era modern, diperlukan perubahan pandangan untuk memanfaatkan dan
mendayagunakan bangunan tersebut, bukan hanya sebagai monumen yang bernilai
sejarah dan penanda kejayaan Bangsa Indonesia di masa lalu, tetapi untuk
kepentingan pariwisata,
Letak bangunan
bersejarah yang banyak di pusat pemerintahan kota, mempunyai keterkaitan dan
kesinambungan dengan bangunan lainnya sangat memungkinkan untuk dijadikan obyek
dan daya tarik yang beragam, diantaranya sebagai berikut:
1.
Obyek
dan Daya Tarik Wisata Niaga
Suatu bangunan bersejarah dapat disinergikan dengan kondisi lingkungan
sekitarnya yang menyediakan fasilitas perniagaan. Hal ini memungkinkan bila
bangunan bersejarah tersebut berdekatan dan mempunyai keterkaitan dengan kegiatan
ekonomi suatu kawasan/daerah.
Contohnya:
Kawasan Kesawan, Medan yang dijuluki sebagai Paris van Sumatera
tentu sangat menarik bila dikelola dengan benar dan dipertahankan tingkat
kekunoannya. Di dalam kawasan tersebut terdapat rumah Tjong A Fie, restoran
Tip-Top, Lonsum, Kantor Pos, Bank Indonesia. Hotel De Bouer (sekarang Inna
darma deli) dan explanade (lapangan merdeka). Kawasan tersebut kini menjadi
salah satu daya tarik wisata di Kota Medan.
2.
Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam
Bila bangunan tersebut terletak di suatu kawasan yang mempunyai panorama
alam yang memungkinkan diadakan kegiatan-kegiatan kepariwisataan.
Contohnya :
Keterkaitan
dengan adanya obyek wisata sungai silau
di Kota Tanjung Balai dengan keberadaan pusat belanja ikan asin yang di
kelilingi oleh nuansa bangunan-bangunan peninggalan kolonialisme Belanda. Kota
Tanjung Balai juga merupakan Kotapraja (Gemeente) yang berada di pesisir timur
pantai Sumatera.
Dari dua contoh fenomena pemanfaatan bangunan bersejarah tersebut di
atas, hal yang perlu di perhatikan adalah mengenai manajemen bangunan
bersejarah itu sendiri. Juga diperlukan
adanya langkah–langkah
dalam penyiapan dan pengelolaan bangunan bersejarah dinataranya :
Langkah
pertama, adalah konservasi
bangunan bersejarah tersebut sesuai dengan kondisi aktualnya. Bentuk konservasi
adalah preservasi, rekonstruksi, restorasi, adaptasi dan revitalisasi, seperti
telah dijelaskan pada batasan-batasan konservasi.
Langkah kedua, adalah interpretasi.
Yaitu, membangun persepsi
wisatawan mengenai obyek yang dikunjungi, sehingga wisatawan dapat memahami
sepenuhnya apa yang disampaikan oleh interpreter (pengelola bangunan
bersejarahyang bersangkutan).
Langkah ketiga, adalah presentasi. Yaitu, mempresentasikan atraksi
wisata dengan cara yang baik itu dapat dicapai dengan mengatur prespektif
ruang, waktu dan sosial budaya.
Salam,
Sutan Imam Uluan.
Sutan Imam Uluan.
Komentar
Posting Komentar